Rabu, 08 Februari 2012

SATU HATI HANYA UNTUK SATU IDEOLOGI


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
مَّا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ

"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongga­nya..."
(QS. Al-Ahzab [33]: 4)

Sesungguhnya hati manusia hanya satu. Karena itu, manusia harus  berjalan di atas jalur manhaj yang satu, dan harus memiliki satu persepsi yang menyeluruh tentang kehidupan ini dan seluruh alam semesta yang bersandar darinya. Manusia harus memiliki standar yang satu dalam menentukan nilai-nilai dan norma-norma serta mengoreksi segala kejadian dan segala sesuatu. Kalau tidak, maka dia akan terpecah-belah, berpencar, menyimpang, dan melenceng dari pengarahan yang lurus.
Manusia tidak mungkin mengambil akhlak dan adab-adabnya dari sumber tertentu, kemudian mengambil syariat dan hukum-hukum dari sumber lainnya yang kedua. Lalu mengambil norma-norma kemasyarakatan dan perekonomian dari sumber lainnya yang ketiga. Dan, mengambil kesenian dan adat istiadat dari sumber lainnya yang keempat Pencampuradukkan dan pembauran seperti ini tidak bisa membentuk manusia yang memiliki hati yang satu dan mantap. Namun, ia justru akan tercerai-berai dan hancur berkeping-keping sehingga tidak memiliki pegangan yang kokoh.
Para penganut suatu akidah tidak akan pernah memiliki akidah yang hakiki dan sebenar-benarnya, bila mereka tidak memegangtuntutan-tuntutan, ketentuan- ketentuan, dan norma-norma akidah itu, dalam setiap aspek kehidupannya baik yang kecil maupun yang besar. Mereka tidak berhak menyatakan suatu kalimat, bergerak dengan suatu gerakan, berniat dengan suatu niat, atau meyakini suatu persepsi tanpa mengikat perkara itu semua dengan akidahnya, bila akidah itu benar-benar nyata dalam dirinya. Karena Allah tidak pernah menjadikan baginya selain hati yang satu, yang tunduk kepada hukum yang satu, yang bersumber dari persepsi yang satu, dan diukur dengan ukuran yang satu.
Seorang pemilik akidah tidak berhak mengatakan suatu perbuatan yang di­kenakannya, "Aku melakukan demikian disebabkan karakter diriku sendiri dan aku melakukan yang lainnya karena karakter Islamku." Sebagaimana para poliitikus, konglomerat, atau organisatoris, baik organisasi masyarakat maupun organisasi keilmuan dan lain-lain yang mengatakan dan berperilaku demikian pada saat ini.
Sesungguhnya pemilik akidah itu memiliki jiwa yang satu, kepribadian yang satu dan hati yang satu, serta dibangun dan dimakmurkan oleh akidah yang satu. Seorang pemilik akidah harus memiliki persepsi yang satu bagi kehidupan dan standar yang satu bagi norma-norma. Persepsinya yang bersumber dari akidahnya harus selalu ikut serta dan berbaur dalam setiap yang keluar dari dirinya pada setiap kondisi dan keadaan secara bersama-sama.
Dengan hati yang satu itu, pemilik akidah tersebut hidup dalam kondisi individunya, hidup dalam berjamaah, hidup dalam negara, hidup dalam dunia ini seluruhnya, hidup dalam kerahasiaan dan kejelasannya, hidup sebagai pekerja dan pemilik tenaga kerja, hidup sebagai penguasa dan rakyat, dan hidup dalam kebaha­giaan dan kesusahan. Dalam semua perkara itu, dia tidak pernah mengganti dan mengubah standar-standarnya, tidak pula persepsi-persepsinya.
"Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongga­nya.... "
Oleh karena itu, akidah itu merupakan manhaj yang satu, jalan yang satu, wahyu yang satu, arahan yang satu, dan ia adalah penyerahan diri secara total kepada Allah semata-mata. Jadi, hati yang satu tidak mungkin menyembah dua Tuhan, tidak mungkin melayani dua tuan, tidak mungkin meniti dua manhaj, dan tidak mungkin mengarah kepada dua tujuan. Dan, bila ia melakukan salah satu dari itu semua, maka hatinya akan tercerai-berai, berpencar-pencar, dan berubah menjadi terpotong-potong dan berkeping-keping.


Sayid Quthub: Fi Zhilalil Qur’an


Tidak ada komentar:

Posting Komentar