Kamis, 09 Februari 2012

HAKIKAT KONFLIK ANTARA PARA RASUL DAN THAGHUT DARI GENERASI KE GENERASI


Pertikaian antar para rasul dan thaghut pada prinsipnya berkisar pada satu titik persoalan, yakni pada masalah hakimiah (kedaulatan). Kaum musyrikin pada masa Nabi saw mengetahui bahwa Allah ialah yang Maha Mencipta, sebagaimana dikemukakan oleh al-Qur'an dalam firman Allah:
"Dan apabila kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan Iangit dan bumi, tentulah mereka berkata: "Allah." (Luqman: 24)
Mereka menyembah patung sebagai perantara untuk mendekatkan mereka dengan Allah dan agar patung-patung itu memberi bantuan kepada mereka di sisi-Nya.
Firman Allah:
"Kami tidak menyembah mereka selain agar mendekatkan kami kepa­da Allah dengan sedekat-dekatnya." (az-Zumar: 3)

Allah juga berfirman, mengingatkan alasan orang-orang musyrik menyembah patung:
"Mereka itu adalah para pemberi syafaat (penolong) kami di sisi Allah." (Yunus: 8)
Orang-orang musyrik Quraisy menyakini bahwa Allah-lah yang memberi rizki mereka. menguasai pendengaran dan penglihatan mereka, mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup.
Allah berfirman:
"Katakanlah: Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dan yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Mereka akan menjawab: Allah. Maka katakanlah: Mengapa kamu tidak bcrtaqwa? (Yunus: 31)
Mereka bersumpah dengan asma Allah dan sumpah-sumpah mereka itu dengan: Wallahi, billahi, tallahi. Mereka juga memanjatkan doa kepada Allah serta memohon kemenangan kepada-Nya.
Dalam kitab-kitab tafsir terdapat riwayat bahwa Abu Jahal dan kaum musyrikin Makkah memegang kelambu Ka'bah sebelum berangkat perang menuju Badar dan mengucapkan:
"Ya Allah, berilah pertolongan ke­pada pasukan yang lebih perkasa dan lebih mulia".
Lalu turunlah fir­man Allah:
"..Jika kamu mencari keputusan maka telah datang keputusan kepadamu, dan jika kamu berhenti (memerangi rasul) maka itu lebih baik bagimu dan jika kamu kembali (memerangi rasul), niscaya Kami akan kembali pula. Dan angkatan perangmu sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sesuatu bahaya pun, biarpun mereka banyak dan sesugguhnya Allah beserta orang-orang yang beriman." (al-Anfaal: 19).
Sebagian kaum musyrikin itu meyakini bahwa kekuatan Allah tidak dapat dikalahkan dan apabila Allah bersama seseorang maka ia tidak dapat ditaklukan.
Disebutkan oleh Ibuu Hisyam dalam kitab sirah yang ia tulis bahwa Khafaf bin Aima' bin Rahdhah al-Ghifari, atau ayahnya yang mengutus anaknya kepada kaum Quraisy dan berkata: "Jika kamu sekalian menginginkan kami memberi pasokan senjata dan personil maka kami tentu akan lakukan. Demi Tuhan, jika yang kita perangi itu manusia, kita sama sekali tidak lemah menghadapi mereka, akan tetapi jika kita memerangi Allah, sebagaimana yang dianggap oleh Muham­mad, maka tidak seorang pun mempunyai daya menghadapi Allah itu".
Jika ditelaah dari warisan sastra Arab pra-Islam, dapat ditemukan ungkapan-ungkapan mengenai sifat-sifat Allah dan kekuasaan-Nya. Zuhair bin Abu Salma, umpamanya, mengatakan dalam bait puisinya:

"Jangan rahasiakan siratan jiwamu;
sebab apa pun yang anda simpan Allah tahu."

Ungkapan kata-katanya ini adalah bahwa Allah mengetahui rahasia dan yang tersembunyi. Sedangkan Antarah, salah seorang pujangga masa jahiliyah, mengatakan:
"Wahai si kekar, manakah tempat lari dari kematian;
jikaTuhanku di langit telah menetapkan?"

Meskipun ini menjadi bagian dari realitas bangsa Arab Jahiliyah, Islam memandang mereka orang-orang kafir yang kekal di neraka pada hari kiamat, dan berhak diperangi di dunia. Dengan ungkapan lain
BAHWA KONFLIK ANTARA RASULULLAH SAW DENGAN PARA TOKOH QURAISY TIDAK BERKISAR TENTANG ADANYA ALLAH YANG MAHA PENCIPTA, MELAINKAN PADA HAK SIAPAKAH KEDAULATAN ITU,  ATAU DENGAN UNGKAPAN YANG LEBIH SEDERHANA: SIAPAKAH YANG MEMILIKI HAK LEGISLATIF DAN YUDIKATIF? AL-QUR'AN MENGETENGAHKAN PERSOALAN INI DALAM NADA PERTANYAAN: "MILIK SIAPAKAH HUKUM (LIMAN AL-HUKM) ?"
Para thaghut menganggap bahwa hak memerintah mutlak ada di tangan mereka: apa yang mereka halalkan menjadi halal dan apa yang mereka haramkan menjadi haram meskipun yang mereka halalkan adalah sesuatu yang haram menurut Allah atau yang mereka haramkam itu halal di sisi-Nya. Oleh sebab itu banyak ditemukan dalam undang undang konvensional-negarasekuler -kebanyakan membolehkan minuman keras, riba, zina, eksotisme, judi, dan lain-lain, yang diharamkan dalam kitab Allah.
Para thaghut itu boleh jadi mempercayai adanya Allah swt dan meyakini bahwasanya Dia Maha Pencipta dan Maha Memberi rizki; Dia Maha Kuasa atas segala seuatu, akan tetapi mereka menolak syari'ah-Nya dan sistem ilahiah yang digariskan untuk mengatur kehidupan manusia. Sebaliknya mereka membuat kekuasaan legislatif dan yudikatif sendiri untuk mengatur kehidupan mereka. Maka jika seseorang meyakini aqidah tetapi mencampakkan syari'ah sebagai sistem kehidupan ia dipandang satu bentuk kejahiliyahan.
Abdul Qadir Audah mengemukakan: "Saya tidak dapat memahami mengapa mereka mempercayai Islam sebagai aqidah tetapi tidak mempercayai Islam sebagai sistem. Apakah Anda lihat Islam sebagai aqidah dari sisi Allah dan sebagai sistem dari selain Allah? "Katakanlah: semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?" (an- Nisaa': 78)
Lebih jauh ia mengemukakan: "Sesungguhnya Allah menjadikan Islam sebagai agama dan Dia pula yang menjadikannya aqidah dan sistem syari'ah. Sebab Allah tidak menginginkan manusia mencari agama untuk diri mereka selain agama ini: "Dan barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekah-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang- orang yang merugi." (Ali Imran: 85)
Islam, sebagaimana dipahami oleh generasi awal adalah aqidah dan syari'ah, dua hal yang tidak terpisahkan. Sebab iman menjadi absah hanya dengan aqidah sedangkan meninggalkan syari'ah kufur hukumnya. Begitu pula melaksanakan syari'ah tetapi meninggalkan aqidah juga kufur.
Allah swt berfirman:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut, Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (an-Nisaa': 60)
Para rasul dan terutama penutup para nabi. Muhammad saw memberi satu jawaban tegas bahwa kedaulatan itu mutlak milik Allah. Al-Qur'an menegaskan mengenai realitas ini dalam firman-Nya:
"Keputusan (hukum) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Yusuf: 40)
Dengan demikian bahwa semua yang dibuat oleh para thaghut berupa undang-undang dan peraturan untuk kehidupan manusia dan pemerintahan mereka dipandang oleh Islam sebagai hal yang batil secara mendasar, tidak mengikat siapapun, bahkan bagi manusia berkeharusan menentang semua itu dan dituntut agar berupaya menghapusnya. Allah menegaskan dalam satu kecaman terhadap orang-orang yang membuat undang-undang sendiri untuk mengatur kehidupan:
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tidak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang zalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih." (asy-Syuura: 21)
Sayyid Qutb mengemukakan: "Tidak seorang pun di antara manusia berhak membuat aturan selain yang telah digariskan oleh Allah dan telah diberi wewenang untuk itu. Hanya Allah sendiri yang mem­buat undang-undang untuk para hamba-Nya sebab Dialah pencipta dan pengatur alam ini dengan hukum-hukum universal yang dipilih sendiri oleh Allah. Dan kehidupan manusia tidak lebih dari bagian kecil dalam perputaran roda jagat raya ini. Oleh sebab itu seharusnya kehidupan manusia ini diatur oleh undang-undang yang bersesuaian dengan hukum-hukum universal itu. Yang demikian itu akan terwujud kecuali ketika Allah Yang Maha Meliputi mensyari'atkan dengan hukum-hukum itu. Semua pembuat undang-undang tidak ada yang sempurna selain Allah. Oleh sebab itu perundang-undangan buatan manusia tidak dapat diandalkan dengan adanya kekurangan itu.
Kendati demikian jelasnya realitas ini, masih banyak juga yang memperdebatkan syari'ah, atau tidak puas dengannya. Mereka berani membuat perundang-undangan di luar yang diizinkan oleh Allah den­gan anggapan bahwa mereka memilih yang terbaik bagi bangsa mereka. Mereka mencari dalih dengan adanva kondisi obyektif dan perundang-undangan yang mereka buat sendiri. Seolah mereka merasa lebih mengetahui dan lebih bijaksana dari Allah, atau seolah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang membuat undang-undang untuk mereka yang tidak diizinkan oleh Allah. Kiranya tidak ada yang lebih durhaka terhadap Allah daripadayang demikian itu.[1]
Para thagut sejak awal telah mengetahui pengaruh agama ini ter­hadap kekuasaan mereka, ketika mendengar kalimat Tauhid yang dibawa oleh para Rasul. Bahkan kalimah Laa ilaaha ilia Allah Muhammad Rasul Allah, telah dipahami realitasnya oleh masyarakat awam sekalipun. Seorang Arab dengan kepolosannya dan hati bersihnya ketika mendengar Rasulullah saw mengajak umat manusia agar bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang patut disembah selain Allah dan bahwa Muhammad ialah utusan Allah, mengatakan:
 "INI ADALAH MASALAH YANG TIDAK DISUKAI OLEH PARA RAJA!
Mengapa tidak disukai oleh para raja? Sebab kesaksian ini memberi dampak negatif bagi pengaruh dan kekuasaan mereka. Seorang laki-laki lain berkata kepadanya: "Jika demikian pasti orang-orang Arab dan juga non Arab akan memerangimu hai Muhammad."
Masyarakat telah memahami bahwa syahadat, laa ilaaha illa Allah, merupakan revolusi terhadap para penguasa yang memerintah tidak den­gan aturan Allah baik dari kalangan bangsa Arab maupun non-Arab. Tidak terlintas di benak siapapun bahwa syahadat, laa ilaaha illa Allah, dapat menyatu dalam satu hati meskipun tidak di satu negeri dengan aturan hukum yang tidak dibuat oleh Allah. Karena da'wah tauhid yang melahirkan kedaulatan Allah swt ini memiliki potensi besar dalam mengancam kekuasaan para thaghut serta hak-hak istimewa mereka yang mereka raih dengan mengorbankan masyarakat luas, sedangkan para rasul beserta para pengikut mereka membawa misi membebaskan masyarakat luas yang terbelenggu ini dari kezaliman, maka para thaghut serta merta mengerahkan segala kekuatan untuk memerangi para rasul beserta para pengikut mereka. Bahkan setiap rasul senantiasa menghadapi persekongkolan mereka dari waktu ke waktu dan dari negeri ke negeri terhadap kehidupan rasulnya. Realitas ini diabadikan oleh al-Qur'an dengan firman Allah swt:
"Dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap Rasul mereka untuk menawannya dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu; karena itu aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azab-Ku?". (Al-Mu'min: 5)

DR. Muhammad Abdul Qodir Abu Faris:
SISTEM POLITIK ISLAM


Tidak ada komentar:

Posting Komentar