Senin, 23 Januari 2012

BERHUKUM KEPADA KITAB DAN SUNNAH DALAM TIMBANGAN AKIDAH


 
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? mereka hendak berhakim kepada thaghut[312], Padahal mereka telah diperintah mengingkari Thaghut itu. dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”.
(QS. An-Nisa: 60)

********

DR. Nasir bin Sulaiman Al-Umar
Sebagian kaum muslimin memandang bahwa menerapkan hukum syariat merupakan ibadah amaliah/praktis (bukan bagian dari akidah), sedangkan meninggalkannya adalah perbuatan maksiat yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari Islam (murtad) selama mereka masih mengakui dua kalimat syahadat dan mengucapkannya.


Pendapat Para Ulama tentang Berhukum kepada Kitab dan Sunnah


Marilah kita merenungkan apa pendapat ulama dalam masalah ini, di antaranya:
1. Ath-Thabari 
Dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala,
بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
"Bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangiaberbuat kebajikan," (al-Baqarah: 112).
Ath-Thabari berkata, "Yang dimaksud dengan menyerahkan diri dalah merendahkan diri untuk patuh kepada Allah dan tunduk kepada perintah-Nya. Sedangkan asal arti "Islam" adalah penyerahan diri (istislam), karena siapa yang kamu serahkan urusanmu kepadanya, kamu akan tunduk kepadanya, artinya kamu tunduk untuk menerima perintahnya. Dan sesungguhnya seseorang dinamakan seorang muslim karena dia menundukkan seluruh anggota tubuhnya untuk patuh kepada Rabbnya.
Dan ketika menafsirkan Firman Allah Ta'ala,
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ
"Jadikanlah kami berdua sebagai orang muslim (yang tunduk-patuh) kepada Engkau." (al-Baqarah: 128).
Ath-Thabari berkata, "Yang dimaksud adalah jadikanlah kami berdua orang yang menyerahkan diri untuk tunduk dan taat kepada perintah-Mu, tidak berbuat syirik dalam taat dan beribadah kepada-Mu dengan seorang pun." (Tafsir Ath-Thabary 6/273)
Di tempat lain ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
"Hai orang-orangyang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya." (al-Baqarah: 208).
Jika ditanyakan, "Apa maksud dari seruan yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman kepada Muhammad dan apa yang dibawanya? Jawabnya adalah seruan untuk mengamalkan seluruh syariatnya, mentegakkan semua hukum-hukum dan had-had-Nya, tanpa membeda-bedakannya, yaitu dengan melaksanakan sebagiannya dan meninggalkan yang lainnya”.[1]
Apabila maknanya demikian, maka lafazh, "Kaffah" (keseluruhannya) merupakan sifat dari "as-silmi" (Islam), sehingga maknanya adalah: Masuklah kamu ke dalam perbuatan dengan seluruh makna Islam (penyerahan), dan janganlah kamu menyia-nyiakan sedikitpun, wahai orang-orang beriman kepada Muhammad dan kepada apa yang dibawanya.
Lebih lanjut ath-Thabari mengatakan, "Ikrimah telah menegaskan makna yang telah kita sebutkan, yaitu bahwa arti dari seruan kepada orang-orang yang beriman adalah agar mereka menolak semua nilai yang buka berasal dari hukum Islam, mengajak mereka agar mengamalkan semua syari'at Islam dan melarang mereka dari menyia-nyiakan batasan-batasannya." (Tafsir Ath-Thabary 4/255-256. Percetakan Syakir.)

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Beliau berkata, "Islam artinya hanya tunduk kepada Allah saja. Barangsiapa yang tunduk kepada yang lainnya, maka dia telah berbuat syirik. Barangsiapa yang tidak menyerah kepada Allah dan menyombongkan diri dari ibadah kepada-Nya, maka orang tersebut adalah kafir.
Pada tempat lain, ketika menafsiri firman Allah Ta'ala,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
"Keputusan itu hanya kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain-Nya. Itulah agama yang lurus." (Yusuf:40).
Beliau berkomentar, "Hukum itu hanya kepunyaan Allah Yang Tunggal, sedangkan para Rasul-Nya hanya menyampaikan dari-Nya, maka hukum yang mereka sampaikan adalah hukum-Nya, perintah mereka adalah perintah-Nya, demikian pula taat kepada mereka sama dengan taat kepada-Nya. Sehingga apa yang diputuskan Rasul, apa yang beliau perintahkan, dan yang beliau syari'atkan, wajib atas semua mahluk untuk mengikuti dan mematuhinya, karena sesungguhnya semua itu ialah hukum Allah bagi makhluk-Nya." (Al-Fatawa 35/361)
Dalam tempat lain ketika menjelaskan bahwa kufur kepada sebagian rasul sama dengan kufur kepada semuanya, maka beriman kepada sebagian rasul, namun kufur kepada sebagian yang lain, maka dia pun termasuk orang kafir. Dalam ucapannya yang lain: Sebagaimana tercelanya orang yang mengaku beriman kepada semua kitab, namun mereka tidak mau berhukum kepada Kitab dan Sunnah, bahkan mereka berhukum kepada para thagut yang diagungkan selain Allah. Hal ini banyak menimpa orang yang mengaku beragama Islam, namun dalam berhukum mereka sering merujuk kepada pemikiran-pemikiran orang yang jauh dari agama, seperti ahli filsafat atau para penguasa yang aliran politiknya menyimpang dari syariat Islam, seperti kerajaan Turki dan yang lainnya. Jika dikatakan kepada mereka mari berhukum kepada Allah dan sunnah Rasul-Nya, maka mereka berpaling dengan sejadi-jadinya. (Al-Fatawa 12/3399)
Apa yang dikatakan Syaikhul Islam sangat berkaitan erat dengan masalah akidah, karena dari tuntutan akidah adalah berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Akan lebih jelas lagi manakala kita melihat ucapan beliau yang lain ketika beliau berkata, "Persaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah," pengertiannya adalah membenarkan setiap kabar yang dibawanya, mematuhi semua perintahnya, menetapkan apa yang wajib ditetapkan, dan menafikan apa yang wajib dinafikan, sebagaimana wajib atas makhluk untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang Allah untuk diri-Nya dan menafikan sifat-sifat[2] yang dinafikan Allah seperti menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sehingga mereka selamat dari tindakan ta’thil (menghilangkan artinya) dan tamtsil (menyerupakan) yakni menetapkan nama dan sifat bagi Allah tanpa disertai tasybih da mensucikan-Nya tanpa disertai ta’thil. Wajib bagi mereka untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang, menghalalkan apa yang dihalalkan dan mengharamkan apa yang diharamkan. Tidak ada yang haram kecuali apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada agama kecuali yang disyari'atkan Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, kaum musyrikin dicela dalam surat al-An'am dan surat al-A'raf serta surat-surat lainnya karena mereka mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah dan menetapkan syariat yang tidak diizinkan Allah sebagaimana firman-Nya,

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا
"Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak." (al-An'am: 136).
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?" (asy-Syura:21) (Iqtidha ash-Shirathil a/-Mustaqim, 2/834, Syaikhul Islam telah panjang lebar dalam menjelas masalah ini.)

3. Ibnul Qayyim
Beliau mengaitkan antara akidah berhukum kepada Kitab dan Sunnah dalam beberapa kitabnya, di antaranya apa yang dikatakannya ketika menjelaskan hadits berikut ini,
ذَاقَ طَعْمَ اْلإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولاً
“Akan merasakan lezatnya keimanan orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Rasul Allah”. (Diriwayatkan Muslim 1/62 Kitab al-Iman, nomor34, dan Ahmad 1/208.)
Kemudian setelah panjang lebar, dia berkata, “Adapun ridha kepada nabinya sebagai Rasulullah, maka mengandung pengertian adanya ketundukan yang sempurna dan penyerahan secara mutlak kepada beliau, dimana Rasulullah lebih utama dari dirinya, tidak menerima petunjuk kecuali dari perkataannya, tidak berhukum kecuali kepadanya, dan menghukum atas perkaranya pihak yang lain dan tidak  ridha dengan selain hukum Rasulullah. Adapun ridha terhadap agamanya ialah apabila Allah berfirman, menghukumi, memerintahkan dan melarang, maka dia ridha dengan sepenuhnya.(Madarikus Salikin 2/172)
Perhatikanlah perkataannya, “Ketundukan yang sempurna, penyerahan yang mutlak, dan ketaatan yang penuh.” Sehingga tampaklah maksud yang diinginkan.

4. Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab
Adapun Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab telah membuat bahasan tersendiri dalam Kitab Tauhid dengan judul, “Bab barangsiapa yang menaati ulama dan umara’ dalam mengharamkan apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan yang diharamkan Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan mereka sebagai sekutu di samping Allah.” (Kitab Tauhid, hal 102)
Beliau juga membuat bab lain dengan judul ‘Bab firman Allah Ta’ala,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut-thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut-thaghut tfu.” (an-Nisa: 60). (Kitab Tauhid, hal 104 percetakan Jami’ah Iman Muhammad Su’ud Islamiyah.)

5. Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Beliau berkata,"Banyak orang yang tidak memahami dengan benar makna dari kesaksian bahwa Muhammad sebagai Rasulullah, mereka memberlakukan hukum buatan manusia, mereka berpaling dari syari'at Allah dan tidak mau mempedulikannya karena kebodohan mereka atau pura-pura tidak tahu.
Sesungguhnya kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah menuntut iman kepadanya, mematuhi perintahnya, manjauhi semua larangannya, dan membenarkan kabar-kabarnya, tidak menyembah Allah kecuali dengan syari'at yang dibawanya, sebagaimana firman Allah
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ   
"Katakanlah, bilaa kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu” (Ali Imran:31)
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (al-Hasyr:7)
Maka wajib atas kaum muslimin dan juga atas semua jin dan manusia untuk menyembah Allah Yang Maha tunggal semata, serta menjadikan Nabi-Nya Muhammad sebagai hakim yang memberi keputusan hukum, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا    
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa: 65) (Lihat Fatawa asy-Syaikh bin Baz 2/337 yang disusun oleh Dr. Muhammad asy-Syawiar).
Lebih lanjut Syaikh Abdul Aziz mengatakan di dalam kitab Wujub at-Tahkimi asy-Syar’illah (Wajib menerapkan syari'at Allah) "Yaitu beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, tidak menyembah thaghut, berhukum dengan hukum Allah adalah tuntutan dari lafazh La ilaha ilallah Muhammadur Rasulullah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya Rab dan Ilah manusia, Dialah yang telah menciptakan mereka, yang memerintah dan melarang, menghidupkan dan mematikan, menghisab dan membalas amal mereka, Dia-lah yang berhak disembah tanpa disekutukan dengan yang lain-Nya. Allah Ta'ala berfirman,
 "Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah." (al-A'raf: 54).
Dialah pencipta satu-satunya, maka Dialah Allah yang berhak memerintahkan, dan kita wajib mematuhi perintah-Nya. (Risalah Wujub Tahkimi Syariat Allah, 7)
Dr. Abdur Rahman Mahmud, dosen akidah di Universitas al-Imam di Riyadh, dalam mengomentari sebagian pendapat ulama tentang masalah ini, "Yang penting di sini adalah memahami bahwa pembicaraan masalah ini bukanlah membesar-besarkan persoalan furu' sebagaimana yang didakwakan oleh sebagian orang, tetapi sebenarnya ini adalah pembicaraan yang berdasarkan dalil yang kuat.
Apabila ada orang yang tidak minum khamr, karena dia memandangnya dapat merusak harga diri peminumnya dan menghilangkan akalnya, namun di sisi lain dia berpendapat bahwa khamr itu tidak haram. Maka dia telah keluar dari Islam (murtad) berdasarkan kesepakatan ulama[3] karena sikap tersebut sudah menjadi persoalan akidah, yaitu pengingkaran terhadap apa yang diharamkan Allah. Maka demikian pula dalam persoalan-persoalan besar seperti berhukum dengan syari'at Allah dan bukan dengan yang selainnya adalah persoalan yang lebih penting.
Tidak ada dalil yang lebih kuat daripada penerimaan seluruh ulama terhadap pandangan di atas, yang hal itu terlihat dari pendapat-pendapat mereka yang telah saya sebutkan. (Mabhats at-tahkim asy-Syari'ah washillatuhu bi al-Aqidah hal.12. (berupa manuskrip).)
Dari penjelasan di atas maka tampaklah dengan jelas kaitan antara berhukum kepada yang diturunkan Allah dengan akidah. Persoalan ini bukanlah permasalahan amaliah semata, yang tidak ada sangkut pautnya dengan akidah.
Selanjutnya maka kita beralih kepada tema kedua, untuk mengupas Persoalan yang lain, yaitu penerapan syari'at Allah di dalam semua sisi kehidupan. Dam barang siapa yang berpaling darinya maka sesungguhnya dia telah bertindak mendahului Allah dan Rasul-Nya.

Dalil-dalil Wajibnya Berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya

Terdapat banyak sekali ayat yang menunjukkan atas wajibnya berhukum kepada syariat Allah dan haramnya mengikuti yang selainnya. Di antar dalil-dalilnya ada yang sampai menyatakan lepasnya keimanan dari orang yang menyalahinya, atau dihukumi sebagai orang kafir, atau dianggap telah menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain dan yang semisalnya.
          1.  Sebagian ayat yang menunjukkan wajibnya berhukum kepada syariat Allah dan mengikuti Rasul-Nya:                   
 a.  Firman Allah Ta'ala,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
"Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat" (al-Baqarah: 256).
b. Firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)   
"Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Ali Imran: 31-32).
c. Firman Allah Ta’ala,
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (105)        
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khiana”. (an-Nisa: 105).
d. Firman Allah Ta’ala,
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا
"Maka patutkah aku mencari hakim se/ain daripada Allah?" (al-An'am:114).
e. Firman Allah Ta’ala,
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
"Ingat Dialah yang menciptakan dan Dia yang berhak memerintah." (al-A'raf:54).
f. Firman Allah Ta’ala,
أَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ  
"Ingat Dialah pemiliki hukum dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat." (al-An'am: 62).
g. Firman Allah Ta’ala,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
"Keputusan itu hanya milik Allah, Dia tehh memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. " (Yusuf: 40) .
Dan lain-lain yang semisalnya.
          2.  Sebagian ayat ada yang menjelaskan hukum orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, atau tidak berhukum dengan syariat-Nya dan apa yang datang dari Rasul-Nya,
 a- Allah Ta'ala berfirman.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ وَهُمْ مُعْرِضُونَ
"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah diberi bagian yaitu al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum di antara mereka; kemudian sebagian dari mereka berpalingdan merekaselalu membelakangi (kebenaran)" (Ali-lmran:23).
b. Allah Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman." (an-Nisa:51).
c. Allah Ta’ala berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah: 31).
d. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." (al-Maidah: 44).
e. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 
"Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhalim." (al-Maidah:45).
f. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ 
"Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orangfasik." (al-Maidah: 47).
g. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59) أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا (60) وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا (61) فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا (62) أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (63) وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (64) فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (65)
"Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu mushibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna". Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa:59-65)

Orang yang Menolak berhukum dengan hukum Allah

Sekarang marilah kita renungkan salah satu ayat yang telah disebutkan sebelum ini, agar maksud menjadi jelas dan hujjah menjadi kokoh. Dan telah saya pilih firman Allah Ta'ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yangkamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65).
Penafsiran para ulama tidak memberi ruang untuk penakwilan dan penyalah-artian.
Sebab turun dari ayat ini ada dua:
Pertama, Bukhari dan yang lainnya menceritakan kisah Zubair dengan salah seorang Anshar. Urwah bin Zubair meriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari kaum Anshar berselisih dengan Zubair tentang sumber air dari Harah untuk mengairi pohon kurma. Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Zubair, "Airilah kurmamu wahai Zubair. kemudian berikanlah setelah itu kepada tetanggamu." maka orang Anshar berkata, "Karena dia anak pamanmu" Maka berubahlah rona muka Rasulullah, kemudian beliau berkata, "Airilah kurmamu kernudian tahanlah, sehingga air itu kembali ke kebun-kebun dan ambillah haknya baginya. Zubair berkata, "Demi Allah ayat ini diturunkan tentang masalah ini.'
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihan". (Diriwayatkan Bukhari dalam al-Masaqah 3/76,77 dalam ash-Shulh 3/171 dan bab tafsir 5/180.181 dan diriwayatkan Muslim 4/1829 kitab al-Fadhail No. 2357. Abu Dauwud 3/315 kitab al-Aqdhiyah no dan lain-lain). 
Dalam riwayat lain sesungguhnya Zubair berkata, "saya menganggap ayat ini diturunkan dalam masalah ini.( Bukhari 3/171 Kitab Sulh . Muslim 4/1830 Kitan faghail no. 2357)
Kedua, ayat ini diturunkan kepada orang munafik dan Yahudi yang turun kepada mereka firman Allah berikut ini,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آَمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku din'nya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada yang ditumnkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut." (an-Nisa: 60).
Ini pendapat Mujahid.
Ishak bin Rahawaih menyebutkan riwayat ini dalam tafsirnya dengan sanad yang shahih sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar dari asy-Sya'bi, dia berkata, "Telah terjadi pertengkaran antara seorang Yahudi dan seorang munafik. Orang Yahudi mengajak orang munafik tersebut kepada Nabi ShallalhhuAlaihi wa Sallam karena dia mengetahui bahwa Rasulullah tidak suka menerima suap, sedangkan orang munafik mengajaknya untuk berhukum kepada seorang Yahudi karena dia mengetahui bahwa orang Yahudi akan membelanya, maka Allah menurunkan ayat ini, hingga kalimat "mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisa: 65). (Fathul Bari 5/37)
Imam ath-Thabari Rahimahullah menguatkan pendapat yang kedua, dia berkata, "Inilah ucapan yang paling benar, namun tidak menutup kemungkinan bawa kisah Zubair pun merupakan sebab turunnya ayat karena kesesuaianya dengan keumuman makna ayat." (Tafsir ath-Thabari, 8/524. )
Ibnu Hajar lebih condong kepada yang dikuatkan oleh ath-Thabari, yaitu bahwa sebab turun ayat ini adalah kisah Yahudi dan munafik.( Fathul-Bari. 5/38 Dia menguatkan bahwa Ibnu Zubair tidak yakin dengan hal tersebut.)
Makna ayat ini jelas sekali, dimana Allah menafikan keimanan dari dadanya, dan itu berlaku bagi siapa yang menolak untuk berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, dan sesungguhnya keimanan tidak akan sempurna kecuali dengan berhukum kepada hukum Rasulullah Shalallahu Ahihi wa Sallam dan berserah diri kepadanya dengan sepenuhnya.
Untuk menjelaskan dan menguatkan pendapat ini saya kutip yang diriwayatkan oleh sebagian ahli tafsir dan pendapat ulama bukan dari kalangan ahli tafsir.
          1.  Imam para ahli tafsir, ath-Thabari Rahimahullah berkata, "Masalahnu tidak sebagaimana yang mereka klaim, bahwa mereka mengimani an yang diturunkan kepada mereka, sementara mereka berhukum kepada thagut. Mereka ogah-ogahan jika diajak kepadamu wahai Muhammad.  Maka Allah memulai dengan menyebutkan sumpah, "Demi Tuhanmu (Ya Muhammad), mereka tidak beriman, yakni mereka tidak membenarkan Aku dan kamu serta tidak membenarkan kepada yang diturunkan kepadamu. Firman-Nya, "Sehingga mereka berhukum kepadamu dalam perkara yang mereka perselisihkan. "Artinya, sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan ketika suatu hukum tersamar bagi mereka." (Tafsir ath-Thabari. 8/818.)
          2.  Al-Jashash Rahimahullah berkata, "Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa barang siapa yang menolak sesuatu dari perintah Allah atau perintah Rasul-Nya, maka dia telah keluar dari Islam, baik penolakannya karena ragu, atau karena tidak mau menerima, atau karena tidak mau untuk berserah diri. (Ahkam al-Qur'an, al-Jashash, 1/213.)
          3.  Ibnu Qayyim berkata, "Kewajiban menerapkan hukum syariat tidak gugur dengan wafatnya Rasulullah, tetapi ia tetap berlaku persis sebagaimana ketika beliau masih hidup. Penerapannya tidak dibeda-bedakan antara suatu amal dari yang lainnya, seperti yang dikatakan orang-orang sesat dan zindik.
Allah Ta'ala memulai firman-Nya dengan sumpah peniadaan apa yang dinyatakan sebelumnya, yaitu bersumpah atas ketiadaan iman dari mereka sehingga mereka berhukum kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam setiap perkara yang diperselisihkan, tentang masalah agama baik yang sepele maupun yang besar, baik tentang masalah furu' maupun yang pokok (ushul), juga tidak cukup hanya dengan berhukum kepada Rasul, tapi mesti disertai dengan tidak adanya kesempitan terhadap yang diputuskan. Dadanya lapang dalam menerima hukumnya dan menerima dengan sepenuhnya. (Mukhtashar ash-Shawaik al-Mursalah, 2/325, I’lam al-Muwaqi’in, 1/54.)
          4.  Al-Allamah Ahmad Syakir berkata dalam Umdatu at-Tafsir ketika mengomentari Tafsir Ibnu Katsir sekitar ayat ini: “Allah bersumpah dengan Dzat-Nya yang suci dan mulia bahwa manusia tidak beriman hingga mereka berhukum dalam semua urusan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu mereka ridha dengan hukumnya, taat, tunduk dan tidak merasa sempit atas apa yang diputuskannya. Jika mereka tidak melakukan hal itu, maka mereka tidak beriman sama sekali, bahkan mereka masih dianggap sebagai orang kafir yang munafik.
Kemudian beliau menyebutkan beberapa undang-undang buatan manusia yang diterapkan di berbagai negeri muslim, yang undang-undang tersebut telah berkedudukan sebagai fikih dan syariat, bahkan telah sampai menjadi agama baru sebagai pengganti dari Islam. Kemudian beliau berkata,
"Agama baru ini adalah kaidah asasi yang menjadi landasan kaum muslimin dalam berhukum di beberapa negara Islam. Mereka berhukum dengannya baik hukum tersebut sesuai dengan sebagian syariat Islam maupun tidak. Semua itu adalah kebatilan dan keluar dari Islam, karena yang sesuai dengan syariat pun hanyalah sebuah kebetulan bukan karena ketundukan kepadanya atau bukan karena taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya. Yang sesuai dan yang bertolak belalang semuanya terjerumus dalam kubang kesesatan yang akan menjerumuskan pelakunya ke dalam neraka. Dan bagi seorang muslim haram untuk tundukdan ridha dengannya. (Umdatut Tafsir 3/314-315)
          5.  Saya akhiri pendapat para ulama dan para ahli tafsir sekitar penjelasan ayat ini dengan ucapan seorang mufti negeri Saudi, yaitu al-Allamah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah, "Allah menafikan keimanan dari orang yang tidak berhukum kepada Nabi dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka, peniadaan ini ditegaskan dengan pengulangan dan dengan sumpah,
"Maka demi Tuhapmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yangkamu berikan, dan mereka menenma dengan sepenuhnya."
Allah Ta'ala tidak mencukupkan dengan hanya berhukum kepada Rasulullah, namun Dia menambahkan harus disertai dengan tidak adanya kesempitan dalam dada mereka, yaitu dengan firman-Nya, 'Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan."
Allah juga tidak mencukupkan dengan dua sikap tersebut, tetapi harus ditambahkan kepadanya sikap penyerahan, yaitu ketundukan yang sempurna kepada hukumnya. Dimana dalam jiwa tidak ada keberatan sedikitpun, mereka menerima sepenuhnya hukum yang benar ini dengan sebenar-benar penerimaan. Oleh karena itu, Allah sering menggunakan masdar, "tasliman." Jelasnya, bahwa tidak hanya cukup dengan penerimaan tetapi harus dengan penerimaan yang mutlak. Kemudian beliau berkata' "Perhatikanlah juga firman-Nya, 'Pada perkara yang mereka perselisihkan' Isim mashul yang dihubungkan dengan shilah-nya menunjukkan keumumannya. Demikianlah menurut para ahli ushul dan yang lainnya Yaitu umum dari sisi jenis dan macamnya. Sebagaimana umum dari sisi kadarnya, yaitu tidak membedakan antara satu dari yang lainnya,-juga sebagaimana tidak ada perbedaan antara yang sedikit dan yang banyak. (Risalah Tahkim Al-Qawanin, hal 1)
Dari penjelasan ini, maka jelaslah bagi kita hukum orang yang berpaling dari menerapkan syariat Allah atau berhukum kepadanya, bahkan kalau pun dia menghukumi atau berhukum dengannya, namun dia tidak ridha dan tidak berserah diri, maka hal itu pun tidak memberi manfaat baginya.


Sumber: DR. Nasir bin Sulaiman Al-Umar, Tafsir Surat Al-Hujurat: Manhaj Pembentukan Masarakat Islam, h. 120-136





[1] Yakni bagaimana mereka diseru untuk masuk Islam, padahal mereka adalah orang-orang yang mukmin yang muslim?
[2] Lihatlah hubungannya dengan masalah ini. la adalah satu yang tak dapat dibagi-bagi.
[3] Dengan syarat dia bukan orang yang bodoh atau orang yang menakwilkan, sebagaimana yang pernah dilakukan salah seorang sahabat, Qudamah bin Abdullah tentang meminum khamr. Jika dia orang yang bodoh atau memiliki takwil lain, adalah diajarkan kepadanya hingga hilanglah kesamaran darinya, namun jika setelah itu dia terus menerus melakukan hal itu, maka dia adalah orang kafir. (Lihat Mushannaf Abdur-Razzaq 9/240 dan Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 10/39.) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar