Jumat, 23 Desember 2011

AGAMA dan SISTEM HIDUP

Anshari Ismail



الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
"Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku cukupkan ni’mat-Ku bagimu, dan telah Aku ridlai Islam menjadi agama bagimu”. (5:3).

Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna. Kesempurnaan Islam itu mencakup semua aspek kehidupan, baik duniawi dan ukhrawi. Meliputi bidang ibadah, mu’amalah, syari’ah, dan akhlak kemasyarakatan. Tidak ada yang tertinggalkan dalam cakupannya, baik yang besar maupun yang kecil. Sebagaimana diterangkan dalam al Quran:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ
"Tiada Aku alfakan sesuatupun dalam Al Kitab”. (6:38).
وَلَا أَصْغَرَ مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْبَرَ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
"Tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang lebih besar, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang  nyata (Lauh Mahfudz)”. (10:61).
Namun sayang, Islam yang demikian lengkap dan sempurna, telah hilang bagian demi bagian dari akidah umat Islam, sehingga yang tertinggal hanya ritual saja. Hal ini sesuai apa yang dinubuwahkan Rasulullah SAW.:
لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الإِِسْلاَمِ عُرْوَةٌ عُرْوَةٌ ، فَكُلَّمَا انْتُقِضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا فَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ ، وَآخِرُهُنَّ الصَّلاَةُ
"Sungguh tali Islam akan akan lepas ikatan demi ikatan. Setiap lepas satu ikatan maka manusia berpegang pada ikatan selanjutnya. Mula pertamanya adalah hukum (pemerintahan) dan yang paling akhir adalah shalat”.  (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) .
Untuk mengasah kepekaan kita terhadap permasalahan dienul Islam ini, kita harus memahami makna dien itu secara benar, sehingga kita dapat memahami/melihat dien Islam ini secara utuh.
Untuk itu, marilah kita perhatikan ayat-ayat di bawah ini:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’ahkan untuk mereka agama yang tidak mendapat ijin dari Allah?”. (42:21).
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
"Tidak patut bagi Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja”. (12:76).
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
"Untukmu (hai masyarakat kafir) agamamu dan untukku agamaku”. (109:6).
Al Maududi menerangkan arti dien sebagai berikut: Arti kata dien  atau agama di dalam ayat di atas adalah undang-undang hukum pidana dan perdata, tata cara hidup, tata tertib, aturan, adat istiadat dan sebagainya yang dianut perorangan, golongan atau bangsa. Kalau semua itu berdasarkan Kitabullah, dari ajaran-ajaran Nabi SAW., maka tiada diragukan lagi, bahwa mereka memeluk dien Allah. Apabila bertolak dari buah pikiran raja atau pemimpin yang lain, maka yang mentaatinya adalah pemeluk dien sang raja atau dien pemimpin. Walhasil, barang siapa yang menjadikan salah seorang menjadi sandaran utamanya, yang ide dan keputusannya diterima dan dilaksanakan sebagai hukum dan aturan yang tak terbantah, maka jelaslah bahwa ia adalah pemeluk dien itu.[1]
Islam adalah satu sistem hidup. Kehidupan manusia yang dapat dipraktekkan dalam semua aspek kehidupan, sistem ini merangkumi semua konsep kepercayaan (i’tiqad) yang dapat menjelaskan kewujudan alam semesta dan dapat menentukan kedudukan manusia dalam alam ini serta dapat menentukan matlamat hidup insan. Ia juga merangkumi beberapa cabang sistem dan peraturan hidup yang praktis yang bersumber dari konsep kepercayaan tersebut dan bersandar padanya. Sistem-sistem itu dapat membentuk satu konsep hidup yang praktis yang tergambar dalam kehidupan manusia. Di antara sistem-sistem itu adalah sistem moral termasuk sumbernya, asas-asas yang menjadi tonggaknya; dan sumber kekuatannya; sistem politik, termasuk bentuk dan ciri-cirinya; sistem masyarakat; sistem ekonomi; falsafah dan struktur serta sistem antar bangsa, dengan segala pertaliannya.[2]
Di dalam Dua Puluh Prinsipnya, Hasan al Bana, menerangkan: "Islam adalah tata aturan yang lengkap, yang meliputi semua segi kehidupan. Islam adalah agama dan bangsa atau pemerintahan dan masyarakat. Moral dan kekuasaan, rahmat dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, kekayaan materi atau kerja dan harta. Jihad dan dakwah, kekuatan senjata dan konsep. Islam adalah akidah yang benar sebagaimana ia adalah ibadah yang shahih. Satu sama lain lengkap melengkapi dan sama derajat.[3]
Demikianlah, sistem Islam meliputi hubungan vertikal, yakni hubungan manusia kepada Tuhannya (hablum minallah) dan hubungan horizantal, yakni hubungan manusia terhadap manusia lainnya (hablum minannas).
Keterkaitan dua bagian ini, akan sangat jelas sekali bila kita membuka kitab fiqh. Di dalam kitab fiqh, yang terkait dengan “hablum minallah” dirumuskan dalam: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Sedangkan yang terkait dengan “hablum minan-nas” dirumuskan dalam: Muamalah, waris, munakahat, jinayat, hudud, jihad dan lain-lain.
Sistem yang demikian itu dalam pandangan Islam harus diterima secara menyeluruh tidak dapat dipisah-pisahkan satu dari lainnya. Penyelewengan terhadap sistem ini, hanya akan menjadikan masyarakat Islam hina-dina, karena mereka melempar sistem yang ditetapkan oleh Allah yang Maha Tahu.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali Allah (hablum minallah) dan tali manusia (halum minan-nas)’. (3:112).
Bahwa, dalam kehidupan ini manusia pasti memerlukan aturan hidup untuk mengatur kehidupannya. Boleh jadi, manusia -- berdasarkan pandangan hidup dan ilmu pengetahuannya -- mengambil materialisme atau materialistik-sekulerisme sebagai sistem hidupnya. Atau sosialis-komunisme sebagai sistem hidupnya. Atau juga rasialis-nasionalisme atau bahkan Islamisme sebagai sistem hidupnya. Semua isme-isme itu, semuanya menjadi dasar bagi pemeluknya untuk membuat aturan dan etika hidupnya. Pengikut komunisme tentu akan membuat aturan hidup berdasarkan fahamnya. Pengikut materialisme akan membuat aturan berdasarkan fahamnya. Begitupun pengikut Islam pasti akan membuat aturan hidup berdasarkan fahamnya. Semua sistem itu diciptakan (baik oleh Tuhan atau manuisa) dengan satu tujuan, yaitu menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Dengan demikian dapat kita simpulkan, semua sistem adalah agama, sesuai bahasa yang kita fahami “a” berarti: tidak, “gama” berarti: kacau. Jadi, agama adalah suatu sistem yang diciptakan untuk membuat masyarakat tidak kacau balau.
Sayid Qutub menerangkan:
Maka bagi mereka yang mengatakan: dasar kami adalah sosialisme atau dasar kami adalah nasionalisme atau dasar kami adalah dasar kebangsaan ... Kesemua ungkapan itu merupakan ungkapan yang benar yang menggambarkan suatu hakikat yaitu bahwa semua sistem hidup adalah agama dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, orang yang hidup di bawah lembayung satu sistem, maka agama mereka adalah sistem itu sendiri. Kalau mereka hidup di bawah sistem Allah, berarti mereka hidup di dalam agama Allah. Dan jika mereka hidup di bawah sistem yang lainnya, berarti mereka hidup dalam agama selain agama Allah.[4]
Seluruh sistem yang begitu banyak dalam kehidupan ini, dalam pandangan Islam dibagi atau dikelompokkan menjadi dua, yaitu: dienul Islam atau dienul hak (Islamisme) dan dienul batil (isme-isme selain Islam).
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dial-lah yang telah mengutus rasul-Nya dengan huda dan dien yang hak agar dimenangkan atas dien-dien seluruhnya, walau orang-orang musyrik benci”. 61:9).
Kehidupan dalam pandangan Islam dibagi menjadi dua kategori: adakalanya kehidupan yang serba Islami, yang segala sesuatunya tunduk kepada hukum Allah, dan adakalanya kehidupan yang serba kafir atau musyrik, manakala aspek dari kehidupan tersebut keluar dari orientasi agama.[5]
Bahwa Islam (dan juga sistem-sistem lainnya) menata berbagai aspek kehidupan ini, baik sipil atau militer, baik perdata maupun pidana, baik individu maupun kolektip, namun tidak ada hukum yang bisa berlaku melainkan setelah adanya hakim (pelaksana hukum), dan tidak ada hakim dapat melaksanakan kewajibannya dengan sempurna kecuali setelah adanya sebuah negara yang merdeka. Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan Islam secara kaffah, harus ada sebuah negara.
Jadi, sistem itu, selain tata aturan dan etika kehidupan, juga sarana dan prasarananya untuk temapt terlaksananya sistem  itu sendiri. Sebagai contoh kita lihat hukum hudud di bawah ini:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Wanita dan laki-laki yang berzina, deralah masing-masing seratus kali dera. Janganlah kamu menaruh belas kasihan terhadap keduanya dalam melaksanakan hukum syari’ah Allah jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”. (24:2).
Al-Maududi menerangkan:
“Dalam ayat di atas, hukum pidana Islam disebut dien Allah (syariah Allah). Yaitu agama Allah. Ini berarti, agama bukan saja berarti shalat, puasa, haji, dan zakat, tetapi juga termasuk hukum negara dan institusi kenegaraan. Jika kita ingin menegakkan agama Allah, maka tujuan itu tidak dapat dicapai hanya dengan menegakkan pranata shaum dan shalat saja, tetapi kita harus pula menegakkan hukum Ilahi berdampingan dengannya dan menjadikan syari’ah sebagai undang-undang negara. Jika hal itu tidak kita tegakkan, maka sekalipun pranata shalat dan pranata lain sebagainya dilaksanakan, tetapi tidak menyebabkan ditegakkannya dien, maka bukan dien secara total. Jika yang ditegakkan hukum-hukum selain hukum Tuhan, maka hal ini tidak lain dari penolakan atas dien itu sendiri”.[6]  
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa Islam meliputi: hukum, negara dan masyarakat. Oleh karena itu, kalau kita katakan: “kita beragama Islam”, berarti kesiapan dan kesanggupan kita menerima hukum dan negara Islam dalam kehidupan ini. Tanpa penerimaan yang demikian itu, walau kita melaksanakan shalat, puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji, tetapi kita menegakkan sistem hukum selain syari’ah Allah dan kita rela terhadap hukum tersebut, maka kita bukanlah termasuk golongan Islam, sekalipun kita ucapkan kalimat “laa ilaha illah” (tiada tuhan selain Allah) dengan mulut kita, walaupun kita menduga bahwa diri kita termasuk dalam komunitas muslimin.[7]
Penyelewengan terhadap hukum syari’ah Allah dengan menerima hukum selain dari Allah, akan menjatuhkan kita ke lembah kekufuran, kedzaliman, dam kefasikan, sekalipun kita masih mengakui sebagian hukum-hukum Allah tersebut.
“Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka ia adalah orang kafir”. (5:44)
“Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka ia adalah orang dzalim”. (5:45).
“Barang siapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah maka ia adalah orang fasik”. (5:47).
Bahkan dengan tegas Allah menyatakan, bila kita tidak mau menegakkan hukum syari’ah yang diturunkan-Nya, kita bukanlah termasuk orang yang beragama. Sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:
قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ ...
“Hai ahli kitab! kamu tidaklah dipandang beragama sedikitpun sehingga kamu menegakkan ajaran-ajaran (hukum-hukum) Taurat, Injil, dan al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu...”. (5:68).
Allah telah memerintahkan kepada kita, untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah. Sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam dengan kaffah”. (2:208).
Kaffah berarti meliputi sarana dan prasarananya, aturan dan pranatanya, hukum dan negaranya. Oleh karena itu, bila kita mendakwakan bahwa diri kita adalah seorang muslim, maka harus menerima dien ini secara kaffah.
Komunisme, tidak!
Sekulerisme, tidak!
Rasialisme. tidak!
Nasionalisme, Tidak!
karena Nabi SAW telah menggariskan:


لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
"Bukan dari kami orang yang menyeru dengan berlandaskan ashabiyah (kebangsaan), bukan dari kami orang yang berperang karena landasan kebangsaan. Dan bukan dari kami orang yang mati karena membela kebangsaaan”.(HR. Abu Dawud).[8]
Bagi kita yang telah menerima Islam sebagai sistem hidup, yang katanya meridlainya, yang katanya meyakini dengan seyakin-yakinnya akan kebenarannya, maka tidak ada pilihan lain -sistem hidup lain- untuk kehidupan ini kecuali Islam.
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
"Tidak ada sesudah kebenaran itu, malainkan kesesatan”. (10:32).
Kita tidak patut mencari (menerima) sistem selain Islam. Karena barang siapa yang mengambil sistem (agama) selain dari Islam, sungguh ia telah keluar dan menyimpang sangat jauh dari agama ini.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima agama itu daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang yang rugi”. (3:85).



[1]  Abul Ala Al Maududi. Bagaimana Memahami Al Quran? hlm 130.
[2]  Sayid Qutub. Masa Depan di Tangan Islam. hlm 7.
[3]  Hasan al Bana. 20 Prinsip Ikhwanul Muslimin. hlm 1.
[4]  Sayid Qutub. Ibid hlm 20.
[5]  Muh. Qutub, Islam dan Sekulerisme.  Dalam Ancaman Sekulerisme. hlm 47.
[6]   Abul Ala Al Maududi. Sistem Politik Islam. hlm 187.
[7]   Muh. Qutub. Ibid hlm 45.
[8]   Jamiush Shaghir IV. no. 7684.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar